![]() |
Buku Ensiklopedia Alquran dan Hadis |
Ada dua puluh empat topik perihal Kemukjizatan Sastra dan Bahasa Al-Qur’an dibahas dalam buku Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadis yang diterbitkan oleh PT. Sapta Sentosa. Salah satunya adalah tentang keselarasan kata dalam Al-Qur’an. Guna memahami adanya keselarasan kata pada teks-teks firman Allah SWT tersebut dipakailah epistemologi bayani untuk menganalisanya.
Apa itu epistemologi bayani?
Menurut Wikipedia epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan secara umum menjadi dua, yakni Teks nash (al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan Teks non nash berupa karya para ulama.
Karena yang hendak dibicarakan adalah Kemukjizatan Al-Qur’an maka sumber teks diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an. Pengulangan-pengulangan kata dalam Al-Qur’an menjadi perhatian dalam pembahasannya. Pengulangan kata alih-alih menimbulkan kebosanan, yang ada justru sesuatu yang menarik. Susunan kata-kata yang indah, teratur, jelas, logis dan cermat. Seakan hendak meyakinkan bahwa senyatanya ia bukanlah karangan manusia.
Tentang hal ini Allah SWT berfirman sebagaimana tersebut dalam surat Al-Isra ayat 88, yang artinya:
“Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.”” (QS. Al-Isra’ [17]: 88)
Dalam buku Ensiklopedia Mukjizat Al-Qur’an dan Hadis tersebut cukup banyak membahas tentang keselarasan kata dalam Al-Qur’an. Disini hanya akan dinukilkan satu saja: perintah dalam Al-Qur’an agar manusia hanya bertawakal kepada Allah SWT.
Karena tawakal adalah wujud penghambaan manusia kepada Dzat yang telah menciptakan, mengurus dan mencukupi kebutuhannya, maka sudah seharusnya manusia menyandarkan diri hanya kepada-Nya.
Untuk perintah supaya bertawakal ini Al-Qur’an diantaranya menggunakan kata hasbiya yang selalu diikuti kata Allah. Ini mengisyaratkan bahwa memang tidak ada lagi tempat menyandarkan diri selain Allah. Kata ini muncul dua kali yaitu dalam surat At-Taubat ayat 129 yang artinya:
“Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.”” (QS. At-Taubah [9]: 129)
Dan surat Az-Zumar ayat 38 yang artinya:
"Dan sungguh, jika engkau tanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Niscaya mereka menjawab, "Allah." Katakanlah, "Kalau begitu tahukah kamu tentang apa yang kamu sembah selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan bencana kepadaku, apakah mereka mampu menghilangkan bencana itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat mencegah rahmat-Nya?" Katakanlah, "Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nyalah orang-orang yang bertawakal berserah diri."" (QS. Az-Zumar [39]: 38)
![]() |
Foto: Buku Ensiklopedia Alquran dan Hadis |
Di ayat yang pertama perintah tawakal ditujukan kepada diri Rasulullah Saw sebagai penghargaan dan peneguh hati dalam menghadapi tantangan dakwah. Sedangkan di ayat kedua ditujukan kepada kaum muslimin secara umum.
Al-Qur’an menyampaikannya dengan ungkapan dalam gaya bahasa yang penuh nilai pendidikan. Yakni, dengan memulai sikap tawakal ini dari diri sendiri, kemudian bisa menjadi contoh bagi orang lain.
Demikianlah Al-Qur’an menyampaikan pesan tentang sikap tawakal dalam kedua ayat tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan selaras.
Di bagian akhir tulisan ini saya mau berbagi cerita tentang sikap tawakal. Sikap ini sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan. Bisa dibilang merupakan kunci meraih kebahagiaan dalam hidup. Atau setidaknya meminimalkan derita. Karena sejatinya bahagia dan derita itu tempatnya ada dalam diri seseorang. Bukan yang ada di luar, bukan juga yang bersifat materi yang melekat padanya, seperti keadaan fisik, harta, pangkat dan jabatan atau yang lainnya.
Begini ceritanya…
Dahulu, selepas dari Sekolah Lanjutan Atas saya sempat risau. Saya lulusan Sekolah Menengah Teknologi (STM). Kalau sekarang SMK begitulah. Mau kuliah? Itu sesuatu yang mustahil, tidak mungkin. Selain tidak ada biaya, lulusan sekolah kejuruan tidak bisa langsung kuliah. Kalau mau kuliah harus bekerja terlebih dahulu selama minimal dua tahun.
Jadi harapan satu-satunya adalah bisa segera mendapatkan pekerjaan. Ini juga pupus, lantaran koneksi ---istilah untuk perantara bagi pencari kerja--- tidak ada. Semula saya berharap kepada kakak ---dia bekerja di suatu instansi--- yang saya pandang bisa membatu. Tetapi ternyata dia bukan tipe orang yang suka “memanfaatkan” kesempatan.
Dalam suasana hati seperti menemui jalan buntu itu, tiba-tiba timbul kesadaran pada diri saya. Saya harus mencari koneksi sendiri. Dan ketemulah “koneksi” itu. Ya … koneksi yang luar biasa. Bukan sembarangan koneksi. Dialah Yang Maha Kuasa, yang bisa mengatur segala-galanya, Allah SWT.
Sejak muncul kesadaran dan keyakinan seperti itu, saya terus berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara saya, berbekal pengetahuan agama yang sangat minim. Seperti telah saya ceritakan di tulisan yang lain, masa kecil saya hidup di lingkungan masyarakat Islam Abangan. Tetapi untungnya sejak kelas lima Sekolah Dasar, kira-kira usia sepuluh atau sebelas tahun saya sudah disiplin menjalankan shalat lima waktu. Ini suatu hal yang harus saya syukuri.
Dalam rangka “mengambil hati” Tuhan itulah, selain tidak abai shalat lima waktu, shalat sunnah juga dikerjakan. Tahunya waktu itu hanya shalat malam. Tata caranya pun bisa jadi belum benar. Begitu pula dengan puasa sunah. Puasa Senin dan Kamis misalnya. Saya melakukan seperti puasa Ramadhan biasa. Dimulai dengan makan sahur menjelang waktu subuh dan berbuka diwaktu Maghrib.
Tapi, pernah pada suatu waktu seorang teman bercerita bahwa neneknya kalau puasa Senin-Kamis tidak seperti itu. Ia tidak makan sahur, dan lagi waktu berbukanya bisa saja lewat Maghrib, yaitu sama dengan waktu makan terakhir di hari sebelumnya. Jadi puasa 24 jam begitulah kira-kira. Saking tingginya semangat taqarrub ilallah, namun minim pengetahuan Agama maka saya pun melakukan puasa yang seperti itu.
Soal puasa sunah ini, ada cerita yang lain lagi. Suatu saat saya mendapat informasi entah dari mana sumbernya, boleh jadi dari khatib khutbah Jumat. Bahwa, satu ketika Rasulullah Saw datang kepada istrinya, Aisyah RA, kemudian bertanya: “Ada makanan apa hari ini ya Aisyah?” Istrinya pun menjawab: “Tidak ada makanan apa-apa hari ini wahai Rasulullah.” “Kalau begitu hari ini saya berpuasa,” begitu jawab Nabi Saw.
Seperti saya sebutkan sebelumnya, didorong keinginan kuat mendekatkan diri kepada Allah, tetapi miskin ilmu, tidak jarang saya juga melakukan puasa ala Kanjeng Nabi Saw itu. Saya berpuasa kapan saja saya mau. Padahal---baru di belakang hari saya tahu--- puasa seperti ini, meskipun dilakukan oleh Nabi Saw, tetapi tidak dianjurkan bagi umatnya. Bisa-bisa kena hukum makruh atau bahkan haram.
Atas ketidaktahuan saya dahulu itu, semoga Allah memaafkannya.
Begitulah sekilas cerita usaha saya dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt demi mendapatkan pekerjaan. Dengan men
anam dan memupuk dalam jiwa sikap bersandar dan berserah diri hanya kepada-Nya.
Manusia berkewajiban ikhtiar secara maksimal, dan mendekatkan diri kepada Tuhan—berdoa. Kemudian soal hasilnya terserah Allah Swt. Diterima apa yang ada, karena itu hidangan dari Allah Swt. Semua itu adalah yang terbaik untuk kita.
Saya bersyukur sikap seperti itu ---dengan pasang-surutnya--- tetap terbawa selama saya menjalani kehidupan ini. Sikap yang seperti itu dalam bahasa agama disebut Tawakal.
Klik video murotal Al-Qur'an.
Posting Komentar untuk "Mukjizat Keselarasan Kata dalam Al-Qur’an"