![]() |
Kitab Suci Al Quran. Foto: koleksi pribadi |
Dalam bukunya "The Religion of Java", antropolog Clifford Geertz membuat kategori masyarakat Jawa, terutama dalam hal praktik keagamaan dan orientasi budaya menjadi tiga: santri, priyayi, dan abangan.
Santri adalah mereka yang secara aktif menjalankan ajaran agama dan taat kepada syariat Islam. Kebanyakan mereka terkait dengan lingkungan pesantren.
Kemudian, priyayi adalah kelompok elite Jawa, umumnya berhubungan dengan pemerintahan dan kalangan bangsawan. Memiliki orientasi pada nilai-nilai budaya Jawa, tradisi, dan adat istiadat. Praktik keagamaan mereka mencerminkan sinkretisme antara Islam, Hindu, dan kepercayaan lokal.
Lalu, abangan, merujuk pada masyarakat Jawa yang mempraktikkan Islam secara sinkretis. Menggabungkan ajaran Islam dengan kepercayaan lokal seperti animisme, dinamisme, dan Hindu- Buddha. Cenderung menekankan aspek ritual dan tradisi lokal daripada formalitas ajaran Islam. Acapkali dikaitkan dengan masyarakat petani.
Berdasarkan pengelompokan ala Clifford Geertz tersebut, dari kecil hingga remaja saya dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang ketiga. Abangan. Seperti halnya para tetangga, ayah saya adalah petani. Meskipun sebelumnya beliau berdagang. Mengadu nasib, merantau dari satu kota ke kota yang lain. Pada akhirnya beliau menetap di rumah, mengolah sawah dan kebun yang tidak begitu luas.
Mengingat kenangan masa lampau, lebih dari setengah abad lalu. Waktu itu saya duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Ketika bercerita tentang sejarah Nabi Saw, Pak Agama mengatakan: “Mukjizat Nabi Muhammad Saw yang paling hebat adalah Kitab Suci Al-Qur’an.” Pak Agama adalah nama panggilan untuk guru yang mengajar mata pelajaran Agama Islam di sekolah kami. Bu Agama bila kebetulan gurunya seorang wanita.
Waktu itu mungkin bukan hanya saya yang sulit memahami kalimat yang diucapkan oleh Pak Guru itu. Saya percaya teman-teman yang lain pun merasakan hal yang sama.
Nabi Muhammad Saw, yang dikatakan sebagai seorang Nabi Besar, pemimpin para nabi, yang diutus kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman tentu dibekali dengan mukjizat-mukjizat. Dan mukjizatnya yang paling top adalah sebuah Kitab yaitu Al Qur’an. Kalimat terakhir inilah yang mengganggu pikiran kanak-kanak waktu itu. Mengapa mukjizat yang top itu hanya berupa buku, bukan yang hebat-hebat seperti mukjizat yang diberikan Tuhan kepada nabi-nabi yang terdahulu.
Misalnya saja Nabi Yunus AS yang sanggup bertahan hidup berhari-hari di perut ikan paus, kemudian bisa keluar dengan selamat. Terus Nabi Ibrahim AS yang tetap hidup, selamat, tidak terluka atau hangus oleh kobaran api yang membakarnya. Ketika itu Nabi Ibrahim dihukum, dibakar hidup-hidup karena dakwahnya yg menentang Sang Raja, Namrud.
Lalu Nabi Musa AS tongkatnya bisa berubah menjadi ular besar yang mengalahkan dan menelan ular-ular tukang sihir Firaun. Menggunakan tongkat pula Nabi Musa membelah laut ketika dikejar Firaun dan bala tentaranya, sehingga Nabi Musa dan para pengikutnya bisa selamat sampai seberang laut, sedang Firaun beserta bala tentaranya ditenggelamkan.
Lantas mukjizat Nabi Isa AS bisa menyembuhkan orang sakit kusta dan orang yang buta sejak lahir. Bahkan bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia.
Mengapa sebuah Kitab Suci yaitu Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dikatakan sebagai mukjizat? Sedangkan Zabur, Taurat dan Injil yang berturut-turut diturunkan kepada Nabi Daud AS, Nabi Musa AS, dan Nabi Isa AS tidak disebut mukjizat.
Bagi kami anak-anak yang hidup di lingkungan masyarakat Abangan, Al Qur’an tidak lebih dari sebuah kitab yang biasa dibaca oleh pak Kyai dan para santrinya. Apa hebatnya? Bukankah masih lebih hebat mukjizat para nabi yang disebutkan tadi.
Memang kami, khususnya saya sangat miskin ilmu agama. Nyaris tidak pernah mendapat didikan agama diluar pelajaran di sekolah yang sangat minim. Di Sekolah Dasar Negeri (SDN).
Kami bersinggungan dengan Al Qur’an paling hanya apabila pak Kyai dan beberapa orang santrinya diundang ke dusun kami untuk melaksanakan ritual selamatan orang meninggal dunia. Apa itu selamatan Tujuh Hari, Empat Puluh Hari, Seratus Hari, Mendak Pertama, Mendak Kedua, dan Seribu Hari.
![]() |
Ilustrasi kenduri. Foto: batangkab.go.id |
Alih-alih menikmati ayat-ayat Al Qur’an dan bacaan-bacaan lainnya yang mereka lantunkan dalam ritual itu, saya dan teman-teman seusia malah berharap prosesi itu segera usai. Hidangan makanan yang enak-enak yang kami tunggu yang biasanya muncul pada sesi akhir acara selamatan itu.
Karena tidak luput anak-anak yang hadir meskipun hanya main-main dapat bagian juga. Dan tidak ketinggalan yang kami tunggu adalah Berkat yang dibawa pulang oleh ayah atau kakak yang hadir di acara kenduri itu. Begitulah kira-kira masa kanak-kanak saya dan teman-teman memahami Al Qur’an.
Kemudian, seiring dengan bertambahnya usia, menjadi semakin dewasa, banyak informasi yang masuk. Saya tidak pernah belajar agama secara khusus. Barangkali hanya waktu masih anak-anak dulu belajar sholat di mushola. Dan di usia tua, setelah purnabakti sebagai karyawan di sebuah BUMN, saya belajar membaca dan memperbaiki bacaan Al Qur’an kepada seorang ustadz atau guru ngaji.
Selebihnya saya belajar Agama dari membaca buku-buku, dari para penceramah di berbagai pengajian, dari obrolan sesama teman, dan belakangan dari media sosial yang semakin populer. Lantaran semua itu sedikit demi sedikit, berangsur-angsur Si Anak Abangan bermetaformosis menjadi kehijauan di usia lanjut. Meskipun belum benar-benar hijau.
Sekarang saya mulai bisa memahami apa maksud pernyataan Pak Agama lebih dari 50 tahun yang lalu, bahwa Al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad Saw yang paling dahsyat.
Memang, tidak seperti mukjizat nabi-nabi yang lain, hanya berlaku ketika para Utusan itu masih hidup, Kalamullah, Al-Qur’anul Karim, mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw ini berlaku sepanjang masa. Ia tetap aktuil semenjak diturunkan, sampai sekarang dan hingga nanti hari kiamat.
Ini sesuai dengan misi Beliau sebagai nabi terakhir yang ajarannya ditujukan bagi seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Al Qur’an siap menjawab tantangan zaman, tidak pernah kadaluarsa, selalu up to date. Ia menjadi panduan mewujudkan peradaban Rahmatan Lil Alamin.
Video Kirab Hari Lahir Pancasila.
Sumber: Shutterstock
Posting Komentar untuk "Al Qur’an dan Aku Anak Abangan"