Gerakan Indonesia Menyemai : Andakah Pelopornya?

Ilustrasi menyemai. Foto: koleksi pribadi

Anda mungkin sudah tahu "Indonesia Mengajar". Sebuah inisiatif sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah terpencil dengan menugaskan lulusan perguruan tinggi terbaik sebagai "Pengajar Muda" untuk mengajar di Sekolah Dasar. Mereka ditugaskan mengajar selama setahun sambil turut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat setempat. Program ini terlaksana melalui Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas oleh Anies Baswedan.

Pun yang ini, yang belum lama diluncurkan. Tentu Anda juga sudah tahu. Itulah gerakan "Indonesia Menanam", GERINA. Diusulkan oleh Ustadz Adi Hidayat dan diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menanam, merawat, dan memanen tanaman pangan. Swasembada atau kemandirian pangan dipercaya menjadi salah satu pondasi penting dalam mewujudkan visi Indonesia Emas tahun 2045.

Lalu apa yang dimaksud dengan “Indonesia Menyemai” dalam tulisan ini?

Yang ini pun mudah-mudahan Anda sudah bisa menduga.

Suatu gagasan yang ditawarkan kepada masyarakat melalui tulisan ini. Gagasan guna membangkitkan kesadaran dan partisipasi demi mencari solusi mengatasi bahaya yang mengancam masa depan Indonesia. Bahaya itu adalah kemerosotan moral yang dirasakan sudah sangat parah ini. Krisis moral adalah pangkal dari berbagai problem yang membuat bangsa ini terpuruk. 

Sapa Pagi Bapak Presiden 

Sub judul ini adalah judul tulisan di Blog ini juga (klik disini). Tulisan tentang gagasan seperti itu. Mengatasi kemerosotan moral berat. 

Tentu Anda setuju, bila soal kemerosotan moral ini menjadi isu utama. Bukankah  ini yang menjadi pangkal masalah kejahatan berat yang menghancurkan bangsa ini. Tanpa memperbaiki moral bangsa, maka negara tidak akan beranjak maju. Konon lagi mewujudkan visi Indonesia Emas tahun 2045.

Sebenarnya semua sudah tahu, kemerosotan moral itu terjadi akibat diabaikannya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, mengembalikan kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur itu menjadi sesuatu yang mendesak.

Mengingat masyarakat Indonesia yang bersifat paternalistik, maka dalam tulisan tersebut disarankan upaya itu dimulai dari atas. Dari pimpinan tertinggi. Antara lain berupa: teladan, motivasi, anjuran, dan perintah dari Presiden.

Bukan Tafsir Tunggal Pancasila 

Namun, cara seperti yang disebutkan tadi—dimulai dari pemimpin tertinggi, Presiden—bisa menimbulkan konotasi negatif bagi sebagian kalangan. Konon lagi Presiden Prabowo adalah menantu penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto.

Sebab hal itu mengingatkan kenangan buruk di masa lalu, era Orde Baru. Pada waktu itu upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila melalui Penataran P4 dijadikan ajang indoktrinasi politik. Sekaligus menjadi alat untuk menyingkirkan para lawan politik.

Oleh sebab itu, tulisan ini mewacanakan sesuatu yang berbeda. 

Teks Pancasila. Foto: oleh ChatGPT
Sebagai kiasan, absennya nilai-nilai moral Pancasila dalam kehidupan masyarakat laksana tanaman yang kering, meranggas—lantas mati. Untuk menumbuh suburkan kembali tentu tidaklah mudah. Benih nilai-nilai luhur itu yang tersisa perlu disemai kembali. Disini sudah pasti dibutuhkan waktu dan kesabaran dalam merawatnya.  

Siapa saja boleh menyemai. Diusahakan sebanyak mungkin persemaian. Dilakukan oleh masyarakat yang peduli akan pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai luhur itu. Dengan berharap partisipasi aktif dari berbagai pihak: organisasi, instansi, institusi, kelompok, dll. Baik yang formal maupun nonformal.

Disini tidak ada lagi monopoli penafsiran Pancasila. Dibuka luas ruang penafsiran sila-sila Pancasila menjadi butir-butir nilai yang aplikatif. Sehingga mudah dipedomani oleh setiap anggota kelompok dalam bersikap, berbuat dan berinteraksi secara internal maupun eksternal.

Perbedaan tafsir sangat mungkin terjadi. Karena meskipun  ada nilai-nilai universal yang ada pada semua kelompok atau golongan. Tetapi ada juga nilai-nilai khas yang berbeda antar mereka.

Itu bukan masalah, melainkan kenyataan yang menggambarkan kekayaan atau keanekaragaman Indonesia. Bukankah memang Pancasila itu digali dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia yang majemuk?

Jadilah perbedaan tafsir itu tetap dalam bingkai semangat Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Tiada Hari Tanpa Pancasila 

Pancasila adalah dasar negara. Dan juga pandangan hidup rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, seharusnya nilai-nilai lima sila itu sudah mendarah-daging dan menjadi karakter, serta tercermin dalam perilaku sehari-hari masyarakat Indonesia.

Tetapi apa yang kita saksikan hari ini …. Ironis. Kalau tahu, hafal dan paham Pancasila saja tidak. Lantas bagaimana dengan penghayatan dan pengamalannya? Tragisnya, yang begini tidak sedikit ada pada para pelajar, mahasiswa, wakil rakyat dan bahkan pejabat. Ada Ketua DPRD, Bupati, dan Gubernur yang tidak hafal Pancasila. 

Nilai-nilai Pancasila, ibarat tanaman, ia telah layu, kering menuju kematian. Maka, menyemai kembali nilai-nilai luhur ini menjadi mutlak adanya. Dan slogan “Tiada Hari Tanpa Pancasila” bisa sebagai penggugah semangat untuk mengawali. Pancasila harus menjadi pembicaraan sehari-hari oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun.

Ilustrasi diskusi. Foto: Pexels

Dari percakapan akan terjadi diskusi. Dari diskusi akan melahirkan ide-ide segar. Inovasi kreatif tentang bagaimana menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila dalam jiwa segenap anak bangsa.

Penuhi ranah publik dengan narasi-narasi yang mendukung. Diharapkan partisipasi dari berbagai kalangan atau institusi: pendidikan, agama, sosial, politik, ekonomi, keluarga, dll. Serta dukungan dari Pemerintah tentu saja. 

Banyak orang tentu akan memberi apresiasi bila lantaran tulisan sederhana ini ada yang terketuk hatinya. Kemudian segera tampil mengambil inisiatif menjadi pelopor Gerakan ini. “Gerakan Indonesia Menyemai.” Semoga yang ini, Andalah orangnya.