Gen Egois

Ilustrai DNA-Gen Foto: Pexels

Sebuah pertanyaan kuno. Sejak dahulu manusia bertanya-tanya: Mengapa kita ada di dunia ini? Darwin menjawab sebagian pertanyaan itu dengan teori evolusi. Namun, pada tahun 1976, seorang ilmuwan muda bernama Richard Dawkins muncul dengan penjelasan yang lebih tajam. Ia berkata: “Kalau ingin memahami kehidupan, jangan berhenti pada makhluk hidup. Turunlah lebih dalam, sampai ke gen. Di situlah cerita sebenarnya dimulai.”

Apa yang hendak diceritakan berikut ini adalah ringkasan buku “Selfish Gene” karya Richard Dawkins itu. Kalau Anda mau cerita yang lengkap bisa pinjam bukunya di perpustakaan Online iPusnas.

Dunia yang Hanya Molekul

Bayangkan bumi empat miliar tahun lalu. Tidak ada manusia, tidak ada pohon, tidak ada hewan. Hanya samudra luas berisi molekul yang saling berbenturan. Dari miliaran percobaan kimia itu, ada satu molekul aneh yang bisa membuat salinannya sendiri. Molekul itu, kata Dawkins, adalah “nenek moyang gen.”

Sejak saat itu, kehidupan berubah selamanya. Molekul yang mampu menggandakan diri akan lebih banyak jumlahnya. Yang rapuh atau lambat hilang ditelan waktu. Beginilah seleksi alam bermula, bahkan sebelum ada makhluk hidup pertama.

Mesin Bertahan Hidup: Tubuh Makhluk Hidup

Seiring waktu, molekul-molekul penyalin ini bekerja sama, membentuk paket gen yang lebih kompleks. Paket itu lalu menciptakan kendaraan agar bisa bertahan lebih baik: tubuh. Hewan, tumbuhan, bahkan manusia hanyalah kendaraan sementara.

Dawkins menyebut tubuh sebagai “mesin bertahan hidup” (survival machine). Contohnya sederhana: mengapa rusa bisa berlari begitu cepat? Karena gen yang membuat rusa berlari kencang lebih mungkin lolos dari kejaran singa. Rusa yang lambat mati dimakan, gennya berhenti di situ.

Ilustrasi Gen berpindah dari kakek ke anak lalu cucu dan seterusnya.  Foto: koleksi pribadi

Bahkan sifiat kita sehari-hari pun bisa dijelaskan demikian. Mengapa kita merasa lapar? Karena gen “mengatur” tubuh agar mencari energi demi kelangsungan hidupnya. Mengapa kita jatuh cinta? Karena cinta membuat kita membentuk ikatan, lalu melahirkan dan merawat anak—cara gen memastikan dirinya berpindah ke generasi berikut.

Gen yang “Egois”

Ketika Dawkins menyebut gen “egois,” tidak berati gen itu sadar atau punya niat jahat. Itu hanya metafora. “Egois” artinya: gen akan bertahan jika ia berhasil menyalin diri. Jadi, setiap perilaku yang kita lihat pada makhluk hidup—dari burung bernyanyi hingga manusia bekerja keras—pada dasarnya adalah strategi gen.

Misalnya, bayi yang menangis keras-keras. Dari sudut pandang gen, tangisan itu bukan sekadar ekspresi emosi, tapi strategi agar orang tua segera memberi perhatian, makanan, dan perlindungan. Bayi yang bisa “memaksa” perawatan orang tua lebih besar peluangnya bertahan hidup, dan gennya pun diteruskan.

Mengapa Ada Pengorbanan?

Kalau semua gen egois, kenapa kita sering melihat hewan atau manusia berperilaku seakan-akan rela berkorban? Contohnya, lebah pekerja mati menyengat musuh demi melindungi koloni. Atau burung kecil yang berkicau memberi tanda bahaya, padahal dengan itu ia justru mengundang predator.

Dawkins menjelaskan dengan seleksi kerabat (kin selection). Seekor lebah pekerja tidak punya anak, tetapi saudara-saudaranya di sarang membawa gen yang sama. Dengan mengorbankan diri, ia memastikan gen yang sama tetap bertahan. Begitu pula burung yang memberi tanda bahaya: meskipun berisiko, ia menolong kerabatnya yang membawa sebagian besar gennya.

Dalam kehidupan manusia, kita juga bisa melihat hal ini. Orang tua rela berkorban besar demi anak-anaknya. Mengapa? Karena separuh gen orang tua ada pada anak. Bahkan, penelitian menunjukkan kita cenderung lebih peduli pada kerabat dekat dibanding orang asing.

Permainan Kehidupan

Evolusi juga penuh strategi. Dawkins menggunakan teori permainan untuk menjelaskan perilaku hewan. Bayangkan dua burung yang memperebutkan makanan. Satu bisa memilih jadi “elang” (selalu agresif), satu lagi jadi “merpati” (selalu damai). Kalau semua burung jadi elang, mereka akan terus bertarung hingga sama-sama rugi. Kalau semua jadi merpati, makanan sering direbut begitu saja.

Ilustrasi permainan Gen. Foto: Rekayasa AI

Yang terjadi di alam biasanya adalah keseimbangan: sebagian agresif, sebagian damai, sebagian pura-pura saja. Evolusi mencari “strategi stabil,” yaitu pola yang memungkinkan gen bertahan paling lama.

Dalam kehidupan nyata, kita juga melihat ini. Di kantor, tidak semua orang bisa terus-menerus agresif. Tapi kalau semua terlalu pasif, organisasi tidak berjalan. Akhirnya ada kombinasi: sebagian tegas, sebagian kompromis, dan justru itulah yang membuat kelompok bertahan.

Budaya: Kelahiran Meme

Di bab terakhir, Dawkins mengajak kita keluar dari dunia biologi. Ia memperkenalkan konsep meme. Kalau gen adalah unit informasi biologis, maka meme adalah unit informasi budaya. Meme bisa berupa lagu, ide politik, mode pakaian, bahkan doa.

Meme bereplikasi dengan cara menular dari otak ke otak. Lagu anak-anak yang terus dinyanyikan generasi demi generasi adalah contoh meme yang bertahan. Sebaliknya, lagu yang hanya sekali populer lalu dilupakan adalah meme yang gagal.

Di zaman internet, gagasan ini jadi sangat nyata. Lelucon bergambar yang viral di media sosial adalah contoh meme yang berevolusi cepat—siapapun bisa membuat versi baru, lalu menyebarkannya lebih luas.

Kritik dan Pemahaman

Banyak orang salah paham dengan istilah “gen egois.” Sebagian mengira Dawkins membenarkan sifat egois manusia. Padahal, maksudnya murni ilmiah: gen tampak egois karena ia bertahan jika bisa menggandakan diri.

Ironisnya, justru karena kita sadar akan hal ini, kita bisa memilih untuk tidak selalu mengikuti dorongan gen. Misalnya, secara genetik kita cenderung melindungi keluarga sendiri lebih daripada orang asing. Namun, manusia bisa menciptakan aturan moral dan hukum agar kita juga menolong orang lain di luar keluarga. Inilah kebebasan yang tidak dimiliki hewan lain.

Manusia di Antara Dua Dunia

Pada akhirnya, The Selfish Gene adalah kisah tentang dua hal yang hidup berdampingan dalam diri kita:

Gen, yang sejak miliaran tahun lalu hanya ingin bertahan, menyalin, dan menyalin lagi.

Kesadaran manusia, yang bisa melampaui dorongan gen itu, memilih untuk peduli pada orang asing, berbuat amal, atau bahkan tidak punya anak sekalipun.

Dawkins menutup bukunya dengan nada optimistis. Kita memang lahir sebagai mesin gen egois, tetapi dengan akal budi kita bisa melawan “program” itu. Kita bisa memilih untuk menjadi tidak egois, menciptakan budaya, seni, dan moralitas yang jauh lebih luas daripada sekadar bertahan hidup.

Dan begitulah, The Selfish Gene tidak hanya mengubah cara ilmuwan memahami biologi, tetapi juga mengubah cara kita memahami diri sendiri. Kita bukan sekadar wadah gen, melainkan makhluk yang bisa menulis kisahnya sendiri—meski gen, di balik layar, tetap memainkan perannya.

Penutup

Akhirnya, apakah cerita tadi sudah memuaskan menjawab pertanyaan di awal tulisan ini : Mengapa kita ada di dunia ini? Semoga saja Anda belum puas—kecuali sebagai penambah wawasan saja.

Atas pertanyaan itu, Islam dengan  tegas telah memberi jawaban. Manusia sebagai Khalifah di bumi; hanya beribadah kepada Tuhan; dan meneruskan misi kenabian: menyempurnakan akhlak; serta menghadirkan peradaban rahmatan lil'alamin—Peradaban Paripurna.

Video contoh meme, lagu "Happy Birthday"




Posting Komentar untuk "Gen Egois"