Menjadi Orang Baik Suatu Keniscayaan

Dengan cara yang tidak terpuji mungkin hari ini Anda masih bisa “sukses”, tetapi itu tidak akan terjadi nanti. Maka berinvestasilah demi membuat diri Anda dan yang lain menjadi orang baik.

Mengapa menjadi orang baik begitu penting? Setidaknya empat hal berikut ini bisa menjawabnya. Pertama, pada dasarnya semua orang suka dengan orang yang baik. Dalam interaksi keseharian kita tentu merasakan akan hal ini. Selama bergaul dengan bermacam-macam karakter orang, kita tentu merasa nyaman bila bersama dengan orang yang baik kepribadiannya ---setidaknya baik menurut persepsi kita.

Kedua, kepribadian berperan dominan dalam mengukir sukses. Sebuah penelitian melaporkan bahwa attitude berkontribusi 80 persen dan skill hanya 20 persen dalam menghadirkan kesuksesan. Ini dikutip dari tulisan Erry Sunarli pada Kompasiana 3 Januari 2013.

Ketiga, semua agama mengajarkan kepada pemeluknya agar menjadi pribadi yang saleh, yang baik atau berakhlak mulia. Dalam Islam Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus ke bumi hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”.

Keempat, —ini yang menjadi perhatian utama Penulis —orang baik adalah pelopor sekaligus unsur utama dalam evolusi masyarakat menuju —kehidupan global yang harmonis penuh kejujuran, kesetaraan, keadilan, kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan— peradaban paripurna di masa depan. 

Sekarang bagaimana dengan Anda? Saya percaya, seperti saya juga, Anda tentu ingin menjadi orang yang menyenangkan, ingin sukses dan mensukseskan. Serta ingin menjadi pribadi yang saleh sekaligus memiliki kontribusi menghadirkan peradaban yang dirindukan oleh banyak orang.

Itu berarti kita ingin menjadi orang yang baik. Mengenai orang baik ini para ahli memberikan pengertian dengan rumusan yang berbeda-beda namun saling melengkapi.

Menurut para filsuf, antara lain Aristoteles (384-322 SM). Orang baik adalah mereka yang menempuh hidup selaras kebajikan yang diperoleh dari kebiasaan. Tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan. Mereka selalu mencari golden mean (jalan tengah) antara dua kutub ekstrim.

Kemudian menurut Confucius (551- 479 SM). Orang baik adalah seseorang yang menjalankan kebajikan, seperti kesalehan, kebijaksanaan dan keadilan. Mereka memelihara harmoni dalam masyarakat dan memperlakukan orang lain sesuai prinsip emas. Jangan lakukan kepada orang lain apa yang tidak diinginkan dilakukan kepadamu.

Lalu menurut Immanuel Kant (1724 -1804 M). Orang baik adalah mereka yang tindakannya didasarkan pada kehendak baik atau good will yang selaras dengan moral universal. Jadi apa yang dilakukan bukan karena dorongan emosional dan keuntungan pribadi, melainkan kewajiban moral.

Selanjutnya menurut Albert Camus (1913 - 1969 M). Orang baik adalah mereka yang menerima absurditas kehidupan tetapi tetap berjuang untuk menciptakan makna melalui tindakan yang penuh kasih dan solidaritas. Mereka hidup dengan keberanian dan komitmen untuk memajukan nilai-nilai kemanusiaan.

Lain filsuf lain pula ulama. Berikut ini pengertian orang baik menurut para ulama klasik. Menurut Al-Ghazali (1059 - 1111 M). Orang baik adalah mereka yang bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi orang lain.

Menurut Imam As-Syafii (767- 820 M). Orang baik adalah mereka yang memiliki ilmu yang diamalkan, bersikap rendah hati, menghindari mengolok dan fitnah, sabar menghadapi permasalahan hidup.

Menurut Ibnu Khaldun (1332 - 1406 M). Orang baik adalah mereka yang menjaga harmoni dalam masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kerja sama, dan moralitas.

Jadi orang baik bisa dipahami sebagai orang yang senantiasa berusaha menjaga keselarasan relasi antara manusia, alam dan Tuhan. Sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang damai dan berkeadilan.

Tetapi, hingga hari ini apa yang bisa kita saksikan jauh dari keadaan yang seperti itu. Terjadi kekerasan dan ketidakadilan skala global. Kekerasan dan ketidakadilan terjadi dimana-mana di seluruh pelosok dunia. Hari ini beritanya berseliweran, tidak asing lagi di mata dan telinga kita.

Terorisme bermotif politis maupun ideologis dengan target sipil maupun militer. Kemudian, konflik senjata atau perang antar kelompok dan antar negara, serta pembunuhan massal. Semua ini adalah bentuk kekerasan fisik.

Belum lagi kekerasan non fisik seperti penipuan, intimidasi, penindasan, pemaksaan, kebohongan atau hoax, dan yang lainnya. 

Sedang penampakan ketidakadilan dapat berupa pengangguran, kemiskinan, kesenjangan pendapatan, monopoli ekonomi, pembatasan penyampaian pendapat, dan yang semisal.

Jadi, bila meminjam istilah atau frasa dari penyair Inggris Williams Shakespere, yang juga diabadikan dalam lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi nasional Ahmad Albar: “Dunia ini panggung sandiwara”. Bisa dimaknai yang sekarang sedang memainkan lakon sandiwara di atas panggung dunia ini adalah mereka yang dari kalangan “bukan orang baik”.   

Oleh karenanya, kembali ke alasan nomor empat pentingnya menjadi orang baik yang tersebut di awal tulisan ini —sebagai pelopor menuju peradaban paripurna di masa depan. Maka orang baik harus mengambil alih peran tersebut.

Tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dan tidak bisa instan. Tetapi harus dilakukan. Dan segera dimulai. Lantas bagaimana caranya?

Setidaknya bisa diawali dengan membangun kesadaran masyarakat luas —mengatasi segala macam perbedaan (suku, bangsa, negara, ideologi, agama, dan yang lain)— akan pentingnya menjadi orang baik. Kemudian berusaha mencetak atau melahirkan orang baik itu sebanyak-banyaknya.

Dalam kontek Indonesia, usaha semacam itu bisa dilakukan secara formal melalui institusi pendidikan dan secara non formal melalui keluarga dan masyarakat. Hal ini tentu sudah berjalan, hanya saja mungkin perlu lebih dimaksimalkan. Dan perlu juga diupayakan cara-cara lain yang lebih kreatif.

Upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila kepada segenap lapisan masyarakat bisa dipandang sebagai cara yang kreatif. Hal ini pernah dilakukan oleh Orde Baru di masa lalu. Yaitu melalui program penatran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Tetapi program ini menuai kegagalan bersama dengan keruntuhan Orde Baru.

Akhirnya, sekarang ditunggu hadirnya cara inovatif lainnya guna memfasilitasi mereka yang mau menjadi orang baik. Suatu inovasi yang bisa diaplikasikan di masyarakat Indonesia dan masyarakat global. Marilah segera kita mulai.


Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Kumparan