Peradaban Paripurna: Mengharap Makbulnya Doa Penutup Sholat


Ilustrasi sholat berjamaah:
Ilustrasi sholat berjamaah. Foto: Pexels

Tata kehidupan global yang harmonis, aman, tentram, damai, adil dan sejahtera —-sebut saja peradaban paripurna— belum juga kunjung hadir. Ini boleh jadi disebabkan karena umat muslim sholatnya belum khusyuk hingga akhir. Saya tidak mengatakan semua muslim. Tema inilah yang hendak diangkat dalam tulisan ini. 

Sebenarnya apakah sholat khusyu itu? Khusyuk adalah roh atau inti sholat. Secara bahasa khusyuk bermakna tenang dan tunduk. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam bukunya Bulughul Maram menyajikan bab khusus tentang perintah khusyu dalam sholat ini. Di dalamnya memaparkan tentang hadis-hadis  yang berkenaan dengan larangan terhadap hal-hal yang bisa menjauhkan dari khusyuk.

Menghindar dari sesuatu yang menghalangi khusyuk tidak kalah pentingnya dengan upaya menghadirkan khusyuk itu sendiri. Seseorang yang khusyuk dalam sholatnya berarti hatinya hadir mulai dari awal hingga akhir sholatnya. Dalam ketenangan, ketundukan dan kepasrahan diresapi dan dihayati setiap ucapan dan gerakan yang dilakukannya. Di dalamnya, semua pujian, ikrar atau kesaksian dan munajat benar-benar dijiwainya. Sebagai kesadaran diri seorang hamba yang tidak berdaya di hadapan Sang Khaliq, Yang Maha Agung, Yang Mahakuasa.

Menurut ustaz Adi Hidayat (UAH) dalam  video yang dapat Anda jumpai di YouTube, sholat khusyu adalah sholat yang benar, yang menghadirkan kehidupan yang nyaman, yang menenangkan, dan yang mendapatkan pancaran rizki yang mudah. Masih menurut beliau khusyuk adalah sikap menghambakan diri serendah-rendahnya, dan menghinakan keadaannya dihadapan Allah, sehingga dengan itu melahirkan ketenangan dan ketentraman di dalam jiwa.

Lantas apa kaitan sholat khusyuk dengan peradaban paripurna? Dan apa pula peradaban paripurna itu? Makna kata paripurna sendiri —-dinukil dari pengertian dan istilah yang ada di situs m.kumparan.com— adalah penggambaran sesuatu yang lengkap, utuh, atau sempurna dalam berbagai konteks.

Kata ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tak kurang atau tanpa kekurangan, yang mengandung semua unsur atau bagian yang diperlukan untuk menjadi utuh atau lengkap. Ia memiliki makna keselarasan dan keseimbangan antara berbagai aspek atau bagian yang membentuk suatu keseluruhan.

Ilustrasi harmoni dengan alam. Foto: Pexels

Jadi, apabila dikaitkan dengan peradaban bisa diartikan  sebagai peradaban atau kehidupan masyarakat yang penuh harmoni. Terjadi keselarasan hubungan antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Sang Pencipta. Seluruh stakeholders masyarakat merasakan hadirnya nilai-nilai yang positif. Misalnya  adanya kesetaraan, keadilan, kesamaan hak dan kewajiban, kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan. Semua itu terwujud lantaran cinta atau kasih-sayang yang berlandaskan nilai-nilai Ilahiah menjadi roh dalam kehidupan masyarakat.

Dengan kata lain peradaban paripurna adalah peradaban yang menebar kasih sayang kepada semua. Ini merupakan istilah generik dari peradaban yang rahmatan lil alamin yang dikenal dalam khazanah Islam.

Tetapi, memerhatikan keadaan di seluruh penjuru dunia dewasa ini yang terjadi  amat kontras dengan gambaran tadi. Kalau begitu bagaimana pendapat Anda, apakah peradaban ideal seperti itu hanyalah utopia belaka, yang mustahil terwujud. Atau suatu impian yang bisa diupayakan kehadirannya pada masa depan?

Harapan saya, Anda setuju dengan saya. Bahwa Peradaban Paripurna itu akan terwujud pada masa yang akan datang. Ada banyak hal yang bisa dijadikan alasan. Sebut saja tiga diantaranya berikut ini. 

Yang pertama, peradaban paripurna seperti yang digambarkan tadi merupakan impian setiap orang. Secara naluri semua manusia —tanpa membedakan asal-usul suku, bangsa, agama dan ideologinya— menghendaki keadaan yang tenteram, damai, penuh harmoni, yang mensejahterakan dan membahagiakan. Karenanya usaha untuk mewujudkan keadaan seperti itu tentu akan mendapatkan dukungan sepenuhnya. Kalau toh ada orang yang tidak menyokong itu berarti anomali. Mereka adalah orang-orang yang “sakit”.

Ilustrasi simpati dunia kepada Palestina. Foto: Pexels

Contoh yang sedang hangat belakangan ini adalah genosida bangsa Palestina oleh penjajah Zionis Israel. Dukungan terhadap bangsa Palestina mengalir dari seluruh penjuru dunia. Lenyapnya nilai-nilai peradaban paripurna di bumi Palestina akibat kebrutalan Israel telah mengundang simpati dunia. Ungkapan simpati dalam berbagai bentuk datang dari mana-mana, dari kalangan yang berbeda-beda. Bahkan dari masyarakat di negara-negara yang notabene pemerintahnya mendukung Zionis Israel.

Kedua, Tuhan mencipta manusia adalah sebagai khalifah di bumi. Sebagai khalifah —yang berarti pengganti atau pengelola— manusia berkewajiban menghadirkan peradaban yang mengedepankan nilai- nilai Ilahiah yaitu aktualisasi dari sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan di bumi. Dan untuk itu tentu Tuhan tidak membiarkan begitu saja, melainkan ditunjukkan jalannya dan diberi panduan.

Sebagai pemandu diutuslah para nabi dan rasul. Hingga yang terakhir adalah Nabi Muhammad Saw dengan kitab suci Al-Qur’an. Diutusnya Nabi Saw adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur’an yang artinya:

"Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam". [QS Al Anbiya 107]

Selanjutnya, setelah beliau wafat para pewarisnya lah yang mengambil peran itu. 

Ketiga, evolusi masyarakat akan terus berjalan. Kita merasakan terjadinya perubahan di sekeliling kita. Manakala kita membandingkan keadaan saat ini dengan masa lalu perubahan itu nyata adanya. makin jauh ke belakang kita melakukan komparasi makin drastis perbedaannya. 

Perubahan atau kemajuan tahap demi tahap yang dimotori oleh iptek tidak lain dimaksudkan untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Supaya umat manusia bisa hidup, nyaman dan bahagia. Meskipun kenyataannya tidak sedikit yang tidak menikmati kemajuan itu, bahkan justru menjadi korban, menderita karenanya.

Jadi, kerja kolektif umat manusia tahap demi tahap kelak akan sampai pada tujuan yang diimpikan bersama. Suatu kerja besar di mana Sang Mastermind kehidupan sendiri yang akan membersamai, memberi petunjuk dan panduan.

Tiga hal yang disebutkan tadi  adalah argumen bahwa peradaban paripurna itu pada waktunya kelak akan terwujud.

Umat muslim hendaklah menjadi pelopor dalam proyek raksasa itu. Bukan hanya mengekor seperti yang terjadi sekarang ini. Harus berusaha memaksimalkan segala potensi yang dimiliki, lahir dan batin. Terus bergiat dalam berusaha dan berdoa. Orang beriman yakin akan dahsyatnya kekuatan doa.

Ilustrasi doa Salam, penutup sholat. Foto: Pexels

Dan puncak munajat adalah sholat. Sholat adalah salah satu ibadah yang paling istimewa. Di dalamnya terdapat pujian, ikrar atau kesaksian dan permohonan atau doa. Ada doa yang mungkin banyak di antara kita menjadi lalai atau hilang khusyuk saat melafazkan, karena dia disimpan di bagian akhir sholat. Itulah doa Salam.

Dalam suatu kesempatan pernah saya tanyakan kepada seorang ustaz, siapa yang dimaksud dengan kum (kalian) ketika salam dalam penutup sholat. "Mereka adalah orang-orang yang ada di sekitar kita, tetapi ada juga makhluk-makhluk yang lain," demikian jawaban Sang Ustaz.

Saya kira tidak salah apabila kata “sekitar” itu kita maknai bukan terbatas hanya pada kedekatan secara fisik melainkan juga kedekatan secara mental/ emosi, secara batiniah. Mereka itulah saudara-saudara kita muslim sedunia.

Maka, ketika melafazkan doa Salam —memohonkan kepada Allah Swt tentang keselamatan, rahmat dan berkah— hendaknya doa itu diniatkan untuk saudara-saudara kita tersebut. Baik yang dekat secara fisik maupun yang jauh. Teristimewa mereka yang masih belum beruntung nasibnya.

Menurut ustaz Adi Hidayat (UAH) seorang muslim yang masih belum nyaman, tenang, dan tenteram hidupnya, masih dipenuhi problematika hidup. Bisa jadi itu disebabkan karena sholatnya yang masih belum khusyuk.

Apa yang dikatakan oleh UAH itu adalah dalam tataran mikro atau kehidupan pribadi. Bila hal itu diangkat pada level makro, atau kehidupan muslim secara global, maka problematika yang terus mendera kamu muslimin di berbagai belahan dunia hingga kini boleh jadi disebabkan oleh sholatnya yang secara hitungan kolektif belum khusyuk.

Oleh karenanya marilah kita jaga kekhusyukan sholat kita, bagi yang sudah mampu. Dan terus berjihad untuk meraihnya bagi yang belum —-termasuk saya sendiri. Kemudian di setiap menutup sholat meniatkan doa Salamnya untuk saudara kita sesama muslim di mana saja berada, di seluruh pelosok bumi ini.

Sebagai barometer, manakala umat muslim sudah bisa hidup dengan aman, tenteram dan damai —tidak harus berkuasa— di situlah evolusi peradaban sudah melalui jalan yang benar. Yaitu menuju peradaban yang Paripurna. Sejarah mencatat ketika Islam berkuasa di suatu negeri, maka di sana tidak ada umat lain yang tersakiti atau dizalimi. Tetapi tidak untuk sebaliknya.

Akhirnya, saya berharap Anda dan saya bisa menjadi bagian dari upaya mewujudkan peradaban yang dirindukan oleh semua makhluk di bumi itu. Peradaban rahmatan lil alamin. Setidaknya melalui setiap doa di akhir sholat kita. 


Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Kumparan dengan judul sedikit berbeda