“Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan pasir. Memberatkan tetapi tidak bermanfaat.” —Ibnul Qoyyim.
Demikianlah berbicara tentang ikhlas hampir selalu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat spiritual, agama atau Tuhan. Sebab, orang yang ikhlas itu tidak menuntut balasan apa pun dari siapa pun atas perbuatan yang dia lakukan. Kalau toh dia berharap hanyalah balasan, pahala, ganjaran atau yang semacam itu dari Tuhan.
Ikhlas berarti bersih dan tulus hati. Oleh karenanya kepribadian ikhlas berdampak positif bagi yang mengawaki maupun bagi orang lain dan lingkungannya. Bagi yang bersangkutan, dengan perasaan ikhlas bisa menjalani hidup dengan nyaman karena segala sesuatu tidak harus menjadi beban.
Kehadirannya di tengah masyarakat mudah diterima dan disambut baik. Semua orang welcome, tidak menaruh rasa curiga, ragu, khawatir apalagi takut. Justru masyarakat bisa memetik manfaat atas keberadaannya--- potensi dan kelebihan dari yang bersangkutan. Yang tentu saja akan diberikan dengan ikhlas.
Kebersihan dan ketulusan hati orang yang ikhlas memancar dari penampilan, tutur kata dan tentu saja dari tindakannya. Sebagai contoh, masih ingat bukan cerita Si Rudi dengan sikat gigi, yang diceritakan di tulisan yang lain?
Di samping peduli ada sifat ikhlas pada diri Rudi sehingga mengantar dia diterima menjadi karyawan di suatu perusahaan. Sebuah Perusahaan yang menempatkan attitude atau kepribadian pada posisi yang sangat penting dalam rekrutmen karyawan.
Akan tetapi disayangkan sebagian kalangan masih mengecilkan arti kepribadian atau budi pekerti ini. Tidak sedikit yang mati-matian mengejar prestasi akademik dan menomor sekiankan masalah pembinaan mental.
Ya, memang skill dan knowledge penting, tetapi attitude atau kepribadian tidak kurang pentingnya atau justru malah jauh lebih penting. Dan ikhlas adalah salah satu dari sifat-sifat kepribadian yang baik.
Cerita yang hendak dituturkan berikut ini, semoga saja bisa membantu memahami arti ikhlas. Sekaligus juga bisa memotivasi kita untuk menumbuhkan dan memupuk sifat ikhlas pada diri masing-masing.
Kisah lama yang barangkali sudah pernah kita dapatkan. Cerita tentang singkong dan kambing saduran dari berbagai sumber.
Dahulu, di sebuah desa yang jauh dari suasana hiruk-pikuk kota, tinggal di sebuah pondok sederhana seorang guru yang sudah tua bersama istrinya. Sudah puluhan tahun Pak Guru mengajar di desa itu. Mereka bukan orang berada, untuk tidak mengatakan hidup dalam kekurangan atau miskin. Kekayaannya hanyalah pondok mungil itu, perabot sederhana plus seekor kambing yang dipeliharanya.
Tetapi, Pak Guru itu sangat baik hati, sehingga dia dihormati oleh para muridnya, dan mereka yang dahulu pernah menjadi muridnya. Juga oleh kebanyakan penduduk di desa itu.
Pada suatu kesempatan, datang seseorang yang dahulu pernah menjadi muridnya. Dia hendak memberi hadiah amanat ayahnya, sebagai wujud penghormatan dan balas jasa kepada Sang Pendidik.
Karena kondisi ekonomi keluarga tersebut tidak jauh beda dengan keadaan pak Guru, hadiah yang dibawa pun tidak bernilai mahal. Hanyalah tiga ikat singkong.
“Pak Guru, ini amanat dari ayah saya. Sebenarnya kami ingin memberikan yang lebih baik. Tetapi, apa daya, hanya inilah mampu kami. Semoga Pa Guru suka menerimanya.”
Pria sederhana itu merasakan ketulusan hati sang murid. “Kok repot-repot Nak. Silakan duduk, sebentar saya ke belakang dahulu ya,” katanya.
Setelah menyuruh istrinya membikinkan minuman untuk tamunya dan berunding membicarakan tentang hadiah apa yang akan diberikan sebagai balasan untuk muridnya itu, dia kembali ke depan menemui tamunya.
Setelah beberapa waktu, ketika tamunya hendak mohon diri, dimintanya untuk menunggu sebentar, kemudian ia ke belakang lagi. Sejenak di dalam, dia keluar sambil mentuntun kambing kemudian menyerahkan tali ikatannya kepada muridnya, sambil berkata: “Sampaikan terima kasih saya kepada ayahmu. Dan ini, terima lah hadiah dari kami.”
Tentu saja tamunya sangat kaget mendapat hadiah yang tidak disangka-sangka dari gurunya yang memang baik hati itu. Setelah mengucapkan terima kasih, kemudian dia pamit untuk pulang.
Di perjalanan pulang dia bertemu temannya. Demi memenuhi keingintahuan temannya itu, kemudian diceritakan bagaimana ia berangkat membawa hadiah tiga ikat singkong, pulang menuntun seekor kambing.
Mendengar penuturan temannya, teman yang satu ini tergiur. Kemudian dia ceritakan hal itu kepada ayahnya. “Kalau kamu ke sana membawa kambing tentu akan dikasih sapi”, begitu kata ayahnya, yang rupanya tergiur juga. Akhirnya, murid yang satu ini, mengikuti jejak temanya tadi, bergegas ke rumah pak Guru yang baik itu, sambil menuntun seekor kambing.
Betapa kagetnya Sang Guru, baru saja dia memberikan kambingnya untuk salah satu muridnya, kini muridnya yang lain memberinya hadiah seekor kambing. Ditemuinya istrinya di belakang, katanya: “Istriku, ini kita dapat kambing lagi dari muridku yang lain. Kita hanya punya tiga ikat singkong. Ya sudah, itu saja kita berikan sebagai hadiah.”
Lantas, dia keluar sambil membawa tiga ikat singkong.
Sang murid menerima pemberian gurunya---yang hanya singkong, bukan sapi seperti yang dibayangkan---kaget dan kecewa. Tetapi, bagaimanapun dengan agak dipaksakan dia tetap tersenyum, kemudian mohon diri.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kisah ini? Murid yang pertama berbuat dengan hati yang bersih dan tulus. Memberi hadiah kepada gurunya dilakukan hanya demi penghormatan dan balas jasa. Kalau toh dia berharap barangkali hanya pahala dari Tuhan. Dan, betul keikhlasannya telah dibalas segera dan berlipat.
Sedangkan murid yang kedua melakukan sesuatu sebab ada tendensinya, ada pamrihnya, ada udang di balik batu. Ia memberi hadiah kepada gurunya demi mendapat balasan yang lebih besar. Tetapi, akhirnya malah kecewa yang didapat.
Akhir kata, guna bisa lebih menghayati kemudian mengamalkan nilai ikhlas dalam kehidupan sehari-hari, supaya bisa menjadi pribadi yang ikhlas, berikut ini dua kutipan nasihat bijak.
“Orang yang ikhlas tidak pernah kecewa dengan amal baik yang telah dia lakukan, karena yakin Allah Maha melihat dan akan membalasnya dengan adil.” – Abdullah Gymnastiar.
“Berlaku baik kepada orang yang membencimu, bukanlah perilaku palsu, jika hatimu ikhlas menerima bahwa pembencimu adalah sahabatmu yang belum jadi.” – Mario Teguh
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di media Kumparan.